Indonesia dengan Korean Wave yang Harmonis

Intro

Globalisasi yang gencar terjadi saat ini, membawa beberapa perubahan dalam kehidupan antar negara. Terlebih dengan adanya globalisasi media, informasi yang menyebar di beberapa negara menjadi seragam. Terkadang, keseragaman informasi ini juga membawa suatu kebudayaan dari si komunikator informasi. Dan dalam jangka panjang, kebudayaan yang terbawa ini juga menyebar ke beberapa negara di mana informasi itu masuk.

Telah kita ketahui pula bahwa mayoritas pemilik media global adalah pihak negara maju. Kepemilikan ini mempengaruhi konten media yang dimiliknya. Hingga konten yang tersebar ke berbagai negara melalui media global itu pun bernafaskan dunia negara maju, sebut saja Amerika Serikat dan Jepang. Kebudayaan negara maju itu pun terbawa dan diserap oleh negara-negara penerima atau negara ketiga, seperti Indonesia.

Kebudayaan negara maju yang masuk, diserap secara masif oleh masyarakat. Ia menjadi konsumsi masyarakat secara terus-menerus hingga menjadi kebudayaan baru bagi kehidupan masyarakat tersebut. Inilah yang memicu timbulnya budaya populer atau budaya pop. Budaya pop adalah budaya yang dibentuk oleh masyarakat yang secara tidak sadar diterima dan diadopsi secara luas dalam masyarakat.[1] Masyarakat membentuk budaya baru dari budaya-budaya yang mereka serap melalui informasi yang mereka peroleh dari kehadiran media global.

Munculnya budaya pop ini, dikhawatirkan menghilangkan budaya asli suatu negara. Orang-orang bersifat konsumtif hanya untuk mengikuti trend budaya pop itu. Budaya pop ini mendorong orang untuk up to date agar tak ketinggalan jaman. Baudrillad mengkritik bahwa konsumsi yang dilakukan oleh orang-orang saat ini bukanlah apa yang mereka butuhkan, namun yang mereka inginkan. Sehingga setiap orang berbagi satu kesamaan penting yakni, mereka semua seragam dalam penggunaan simbol-simbol modernitas. Ritzer pun mendukungnya dengan menciptakan istilah ‘the globalization of nothing’, yakni konsumsi yang dilakukan oleh seseorang justru bergerak kearah ketiadaan yang disusun secara sentralistis dan tak memiliki substansi yang khas, atau dalam istilah berbeda, orang tak lagi menjadi dirinya, namun menjadi seragam dengan orang lain.[2] Nah, keberadaan budaya pop dari negara-negara maju ini, dikhawatirkan akan mengikis kebudayaan asli negara-negara berkembang sebagai penerimanya. Masyarakatnya menjadi orang yang tak punya ciri khas karena keseragaman.

 

‘Keakraban’ Televisi dan Indonesia dengan Budaya Populer

Strinati (1995)[3] mendefinisikan budaya populer sebagai budaya yang dihasilkan secara massal dengan bantuan teknologi industri, dipasarkan secara professional bagi publik konsumen dan ditujukan untuk mendatangkan profit. Di Indonesia ini, teknologi yang sedang berkembang membuat masyarakat senang hingga terkadang memanfaatkannya berlebih. Teknologi yang dimaksud adalah televisi dengan berbagai kontennya. Konten televisi yang berupa kebudayaan asing, disukai masyarakat Indonesia.

Dan Louw (2001) menyatakan, “the media are one of the many social sites that are struggled over as means to acquire and build power”. Dari sini, negara maju memanfaatkan kemajuan teknologinya untuk memperluas pengaruh dan kekuasaannya, terutama ke negara berkembang (negara pheri-pheri dan semi-pheri) yang memiliki ketertinggalan teknologi. Seperti yang dijelaskan dalam teori dependensi (dalam Soelhi, 2009: 157) bahwa untuk mencapai modernisasi atau pertumbuhan, negara-negara Dunia Ketiga bergantung pada bantuan negara Barat. Nah, dalam kasus saat ini terlihat bahwa negara maju tak hanya muncul dari dunia Barat. Dunia Timur pun muncul Jepang dan Korea Selatan yang menjadi negara maju yang tak kalah saing dengan dunia Barat.

Sebagai negara berkembang, Indonesia menjadi negara yang mudah menerima kebudayaan yang masuk ke dalamnya. Masyarakat menyerap begitu saja budaya yang masuk, hingga terjadi tahap peniruan terhadap budaya asing itu. Dampaknya, kebudayaan asli pun dapat terkikis karena asal tiru tersebut.

Budaya-budaya pop tumbuh menjamur di Indonesia. Mereka merayap dari kota ke kota, bahkan ke daerah-daerah kecil. Televisi dapat dikatakan sebagai media utama yang menjadi penyebar budaya pop itu. Masyarakat kota membentuk budaya pop yang kemudian terangkum dalam berbagai program televisi hingga ditayangkan ke pelosok daerah. Dari sinilah masyarakat desa pun ikut meniru budaya pop itu.

Menurut Turner,[4] budaya pop dan media massa memiliki hubungan simbiotik di mana keduanya saling tergantung dalam sebuah kolaborasi yang sangat kuat. Kepopuleran suatu budaya sangat bergantung pada seberapa jauh media massa gencar mengkampanyekannya. Begitu pula media massa hidup dengan cara mengekspos budaya-budaya yang sedang dan akan populer. Lazim jika memang saat ini media massa begitu akrab dengan konten budaya pop. Selain untuk ‘memasarkan’ budaya itu sendiri, media juga ingin mencari rating dengan menyajikan program yang sedang digandrungi masyarakat.

Telah banyak negara maju yang meng-’ekspansi’ Indonesia dengan budaya-budaya yang mereka miliki. Berbagai media digunakan dalam persebaran budaya itu. Dan yang paling sering kita temui persebaran melalui film atau serial televisi. Jika dulu budaya India, Jepang dan Amerika Latin pernah singgah di Indonesia, sekarang budaya Korea sedang menjadi virus bagi masyarakat.

Dan memang, kebudayaan memang hal yang paling menarik untuk mengisi jam tayang televisi. Hoggart (dalam Cooper-Chen, 2005: 7-8) berkata, “a nation’s culture is always more interesting than its politics”. Maka tak heran jika saat ini banyak negara yang menonjolkan keelokan negara melalui program-program televisi yang kemudian program tersebut dikonsumsi masyarakat internasional, termasuk Indonesia yang sering menerima program televisi dari negara luar. Bahkan mungkin, kita tak perlu lagi berkunjung ke luar negeri hanya untuk mengetahui kebudayaan negara lain. Cukup dengan menyalakan televisi, kita bisa puas melihat dan menikmati kebudayaan luar itu. Di dinilah secara tak langsung dapat timbul cultural imperialism melalui media. Goonaskera (dalam Cooper-Chen, 2005: 13) memperingatkan bahwa dalam menghadapi invasi media saat ini, budaya pribumi dunia ketiga bisa hancur dan tak bisa melawan akan hal itu.

 Gelombang Budaya Pop Korea di Indonesia

                Budaya pop Korea, menjadi budaya baru yang sedang digandrungi masyarakat Indonesia. Dimulai pada awal 2000-an, kehadiran serial drama Korea menghiasi layar kaca dan membius masyarakat. Meski kedatangannya didahului oleh J-Pop (budaya pop Jepang), budaya pop Korea telah memiliki massa tersendiri. Tak hanya remaja, beberapa orang tua pun mengakui kesukaan mereka terhadap serial drama mendayu dari Korea.

Tak heran, beberapa judul serial televisi Korea menjadi familiar di telinga, sebut saja Full House, Endless Love, Winter Sonata, Jewel in The Palace, atau yang terbaru Boys Before Flowers. Kehadiran serial drama Korea di Indonesia begitu beruntun. Dan dengan menjual cerita yang penulis sebut dengan Cinderella’s syndrome, serial drama Korea malah menjadi hit dan menumbuhkan fans fanatik. Para bintang serial drama tersebut pun menjadi idola di Indonesia.

Selain cerita yang tak jauh dari kehidupan sehari-hari, serial drama Korea membawa hal baru bagi masyarakat Indonesia. Dengan menampilkan tempat-tempat eksostis di Korea, ajang promosi wisata pun terjadi di sini. Para penonton yang menjadi penikmat serial drama, menjadi tertarik untuk berkunjung ke Korea (lokasi shooting). Selanjutnya, fashion style yang segar pun menjadi alternatif gaya bagi para anak muda. Maka tak salah jika banyak fans fanatik yang muncul terhadap serial drama atau artis Korea.

Para fans fanatik ini, kemudian juga menyukai musik yang menjadi latar tiap episode serial drama. Penyanyi dan boyband Korea juga merasuki otak penikmat K-Pop, sebutan untuk musik pop Korea. Nama-nama seperti Rain, BoA, Big Bang, dan Super Junior menjadi magnet sendiri untuk menarik minat masyarakat terhadap K-Pop.

Dari merebaknya budaya pop Korea ini, muncul pula istilah Hallyu dan Korean Wave. Istilah hallyu muncul di China tahun 1997 untuk menyebut gelombang budaya pop Korea yang melanda generasi muda China.[5] Dan saat ini, hallyu tak hanya digunakan di China tapi juga di negara lain yang menjadi ‘wilayah jajahan’ budaya pop Korea. Sama halnya dengan hallyu, Korean Wave merupakan istilah untuk menandai fenomena kebangkitan budaya pop Korea yang tiba-tiba menginvasi Asia, termasuk Indonesia.[6] Korean Wave ditandai dengan dikenal luasnya grup musik, fashion, dan drama yang semuanya khas Korea hasil kolaborasi budaya modern dan tradisional. Budaya pop dibalut tradisionalisme Korea diangkat serius layaknya sebuah industri, yang kemudian mucul pula istilah cultural industry. [7] Cultural dan industry disatukan untuk memperkuat keberadaan Korea.

Kehadiran kemajuan teknologi pun membantu para fans fanatik untuk membentuk kelompok pecinta. Di Indonesia saat ini, terbentuk kelompok pecinta serial drama atau boyband/ girlband yang sedang digandrungi. Bahkan mereka membentuk situs khusus bagi para sesame fans. Melalui situs inilah mereka bertemu dan terkadang melakukan ‘kopi darat’.

Fans fanatik Korea di Indonesia pun membentuk grup-grup, yang sekarang jumlahnya tak terhitung. Melalui grup ini, mereka sering mendiskusikan hal-hal yang berbau Korea, entah artis, musik, gosip artis Korea, atau konten budaya lain. Grup-grup tersebut pun sering melakukan program tertentu, yang terkait dengan idola mereka. Program itu dilakukan untuk menarik para ‘penghibur’ dari Korea untuk melakukan konser di Indonesia. Mereka mencari massa melalui internet dengan blog atau situs jejaring sosial facebook dan twitter.

Gelombang Korea di Indonesia tidak hanya berasal dari dunia hiburan semata namun juga menyusup dalam dunia akademik di kampus. Di Yogyakarta terdapat dua pusat studi tentang Korea yang berada di dua universitas terkemuka yaitu Universitas Gadjah Mada (UGM) dan Universitas Islam Indonesia (UII). Salah satu tujuan Pusat Studi Korea (PSK) UGM adalah untuk mempromosikan budaya Korea dan menjalin kerjasama dalam bidang kebudayaan dengan Indonesia. Aktivitas PSK UGM adalah menyelenggarakan kursus bahasa Korea bagi mahasiswa, sebagai pusat informasi tentang Korea bagi kalangan mahasiswa dan umum, serta mengadakan acara yang berkaitan dengan promosi budaya Korea.[8]

               

Citra Positif Korea dengan Korean Wave

Tak bisa dihindari, budaya pop Korea menjadi makanan sehari-hari masyarakat Indonesia, bahkan negara lain. Dengan bantuan berbagai media massa, terutama televisi, begitu mudahnya budaya pop Korea menjadi demam. Selanjutnya, ada beberapa faktor yang menjadikan budaya pop Korea dapat dengan cepat membius masyarakat:[9]

  1. Produk budaya Korea mengemas nilai-nilai Asia yang dipasarkan dengan gaya modern, yang disebut sebagai Asian Values-Hollywood Style oleh Kim Song Hwan, pengelola siaran televisi Korea Selatan. Yaitu cerita-cerita yang dikemas bernuansakan kehidupan orang Asia, namun dengan pemasaran secara internasional yang mengedepankan penjualan nama seorang bintang atau menjual style.
  2. Etos kerja orang Korea yang tinggi. Dituliskan bahwa banyak penyanyi maupun bintang Korea yang rela melakukan jumpa fans di beberapa negara Asia walaupun honor mereka tidak seberapa dibandingkan dengan apabila mereka melakukan tur di negara sendiri. Upaya seperti inilah yang mendekatkan mereka dengan para fans.
  3. Pemerintah Korea sendiri mendukung pelestarian budaya ini, salah satunya adalah dengan dicanangkannya tahun wisata Korea. Pemerintah mengedepankan program-program yang menjual negara Korea terutama paket-paket wisata yang secara emosional bisa menarik para wisatawan untuk berkunjung ke negara Korea. Misalnya saja paket wisata mengunjungi lokasi yang pernah digunakan untuk pengambilan gambar serial Jewel in The Palace.

Tambahan mengenai faktor mudahnya budaya pop Korea masuk ke dalam masyarakat Indonesia adalah kebosanan akan budaya pop Barat. Kehadiran budaya pop Korea menjadi alternatif bagi penikmat budaya, yang tentu saja kebudayaannya tak terlalu jauh dengan budaya Indonesia. Telah lama Indonesia ‘terjajah’ dengan budaya pop Barat, hingga akhirnya menemukan budaya pop Korea sebagai pengganti.

Dengan adanya faktor-faktor itu, Korean Wave pun memang menjadi semacam media budaya oleh pemerintah Korea. Seperti yang telah disebutkan di atas, ia dijadikan ajang promosi pariwisata negara Korea. Dari sinilah muncul berbagai keuntungan bagi pihak Korea. Keuntungan tersebut antara lain:

  1. Jelas, pasca adanya Korean Wave nama Korea pun terjual. Dengan kelihaian produksi dan pengemasan serial drama, film, dan musiknya, mereka mendapatkan penggemar. Banyak penggila budaya pop Korea yang tak hanya mengidolakan artis dan penyanyi Korea, tapi juga mengidoalakn negara Korea hingga mereka bercita-cita untuk mengunjungi negara Korea. Seperti pada situs bulaksumur-online.com[10], yang menuliskan pengakuan mahasiswa Kehutanan UGM yang terdorong untuk tinggal di Korea entah untuk study atau bekerja karena budaya pop Korea.
  2. Pencitraan positif Korea melalui budaya pop ini, meningkatkan daya saing produk elektronik Korea, seperti handphone (Samsung), peralatan rumah tangga (Yong Ma) atau mobil (Hyundai).

 

Dengan adanya Korean Wave dengan berbagai dampak positifnya, selayaknya dapat menginspirasi masyarakat Indonesia untuk menirunya. Bukan meniru budaya pop secara utuh, tetapi meniru cara mereka dalam menyebar virus budaya pop itu. Dan dengan keanekaragaman budaya Indonesia, tentu akan mejadi pekerjaan rumah yang berat bagi masyarakat dan pemerintah dalam merealisasikannya.

 

 

Daftar Pustaka

 

Cooper-Chen, Anne. 2007. Global Entertainment Media. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates.

Louw, Eric. 2001. The Media and Cultural Production. London: Sage Publications.

Shoelhi, Muhammad. 2009. Komunikasi Internasional Perspektif Jurnalistik. Bandung: Simbiosa Rekatama Media.

Strinati, Dominic. 1995. An Introduction to Theories of Populerular Culture. London: Routledge.

 

Situs:

Adji, Bayu. 21 Maret 2009. Marching Band dan “Sihir” Pop Culture. Terarsip dalam: http://www.ppromarching.com/index.php?option=com_content&view=article&id=150:marching-band-dan-sihir-pop-culture&catid=31:artikrl&Itemid=46. (diakses pada 21 Desember 2009).

Kompas. 9 Oktober 2009. Film dan Strategi Budaya Korea. Terarsip dalam: http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/10/09/02582183/film.dan.strategi.budaya.korea. (diakses pada 26 Desember 2009).

Mulianandika, Nandra. 25 Juli 2009. Representasi Budaya Pop yang Terdapat dalam Iklan Rokok Komersial. Terarsip dalam: http://skripsi.unila.ac.id/2009/07/25/representasi-budaya-pop-yang-terdapat-dalam-iklan-rokok-komersial/. (diakses pada 21 Desember 2009).

Nugroho, Suray Agung. (tanpa tahun). Hallyu ‘Gelombang Korea di Asia dan Indonesia: Trend Merebaknya Budaya Pop Korea. Terarsip dalam: http://elisa.ugm.ac.id/files/suray_daryl/lKsnBhys/hallyu.doc. (diakses pada 26 Desember 2009).

Solopos. 6 Desember 2009. Film Korea Segar dan Berbudaya. Terarsip dalam: http://edisicetak.solopos.co.id/zindex_menu.asp?kodehalaman=m08&id=43980. (diakses pada 26 Desember 2009).

http://bulaksumur-online.com/lifestyle/125-ekspansi-budaya-korea.html. (diakses pada 21 Desember 2009).

http://issuu.com/kunci/docs/demam_k_drama_dan_cerita_fans_di_yogyakarta/11?showEmbed=true. (diakses pada 21 Desember 2009).

http://www.indonewyork.com/contents/Berita/Hiburan/Hiburan-102607-Drama%20Korea%20yang%20Membuai%20Asia.htm. (diakses pada 21 Desember 2009).

http://www.tempo-institute.org/wp-content/uploads/2009/10/Sidiq-Maulana-Muda-_-Ekspansi-Budaya-Lepas-Landas-Kebudayaan-Indonesia.pdf. (diakses pada 21 Desember 2009).


[1] Nandra Mulianandika. 25 Juli 2009. Representasi Budaya Pop yang Terdapat dalam Iklan Rokok Komersial. Terarsip dalam: http://skripsi.unila.ac.id/2009/07/25/representasi-budaya-pop-yang-terdapat-dalam-iklan-rokok-komersial/. (diakses pada 21 Desember 2009).

[2] Bayu Adji. 21 Maret 2009. Marching Band dan “Sihir” Pop Culture. Terarsip dalam: http://www.ppromarching.com/index.php?option=com_content&view=article&id=150:marching-band-dan-sihir-pop-culture&catid=31:artikrl&Itemid=46. (diakses pada 21 Desember 2009).

[3] Dominic Strinati. 1995. An Introduction to Theories of Populerular Culture. London: Routledge. Hal. 2-5.

[5] Solopos. 6 Desember 2009. Film Korea Segar dan Berbudaya. Terarsip dalam: http://edisicetak.solopos.co.id/zindex_menu.asp?kodehalaman=m08&id=43980. (diakses pada 26 Desember 2009).

[6] Kompas. 9 Oktober 2009. Film dan Strategi Budaya Korea. Terarsip dalam: http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/10/09/02582183/film.dan.strategi.budaya.korea. (diakses pada 26 Desember 2009).

[9] Suray Agung Nugroho. (tanpa tahun). Hallyu ‘Gelombang Korea di Asia dan Indonesia: Trend Merebaknya Budaya Pop Korea. Terarsip dalam: http://elisa.ugm.ac.id/files/suray_daryl/lKsnBhys/hallyu.doc. (diakses pada 26 Desember 2009).

[10] Terarsip dalam: http://bulaksumur-online.com/lifestyle/125-ekspansi-budaya-korea.html. (diakses pada 21 Desember 2009).